Sengketa waris dalam hukum Islam sering kali menuntut adanya peran mujtahid, khususnya hakim, dalam menafsirkan dan menerapkan kaidah hukum untuk mencapai keadilan bagi para pihak. Tujuan penelitian ini ini menganalisis peran mujtahid dalam suatu kasus sengketa waris yang melibatkan status harta bersama, harta bawaan, serta keberadaan utang pewaris. Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, serta Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, hakim harus memastikan bahwa pembagian harta dilakukan sesuai ketentuan hukum Islam. Dalam kasus ini, hakim sebagai mujtahid menilai bahwa harta yang disengketakan merupakan harta bersama yang belum dibagi, sehingga janda pewaris berhak atas setengah bagian sebelum pembagian warisan kepada ahli waris lainnya. Selain itu, dalam menentukan keberadaan utang pewaris, hakim menggunakan prinsip pembuktian dalam Pasal 163 HIR dan Pasal 174 HIR, di mana pengakuan tergugat di persidangan menjadi bukti sempurna terkait utang yang diakui. Metode penelitian menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran mujtahid dalam kasus ini tidak hanya sebatas menerapkan hukum secara tekstual, tetapi juga mempertimbangkan aspek keadilan substantif dengan mengacu pada dalil-dalil hukum, fakta persidangan, dan prinsip keadilan dalam Islam. Dengan demikian, penerapan ijtihad oleh hakim dalam perkara ini memastikan bahwa pembagian warisan dilakukan secara sah, adil, dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam putusan nomor 596/Pdt.G/2023/PA.SKA dalam sengketa waris putusan tersebut hanya saja diselesaikan antara kedua belah pihak yang bersengketa sehingga menurut penulis perlu adanya keberadaan mujtahid dalam sengketa waris tersebut agar memberikan kepastian hukum jelas.