Abstract
Kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan serius yang menimbulkan dampak fisik dan psikologis jangka panjang. Pemerintah Indonesia merespons kejahatan ini dengan memberlakukan sanksi kebiri kimia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan sanksi kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual anak dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), serta mengkaji pertimbangan hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 858/Pid.Sus/2022/PN.Bjm. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual, serta analisis kualitatif terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan kebiri kimia berpotensi bertentangan dengan prinsip non-degrading treatment dalam konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Novelty dari penelitian ini terletak pada pendekatan evaluatif yang menggabungkan analisis norma hukum nasional, HAM internasional, serta praktik yudisial konkret. Disimpulkan bahwa kebiri kimia dapat dipertahankan dengan syarat adanya persetujuan medis, pengawasan ketat, dan perlindungan terhadap hak pelaku. Rekomendasi yang diajukan meliputi reformulasi kebijakan dengan menekankan rehabilitasi pelaku, edukasi publik, serta pengawasan independen untuk menjamin perlindungan hak semua pihak yang terlibat.