+62 813-8532-9115 info@scirepid.com

 
Humani - Hukum dan Masyarakat Madani - Vol. 9 Issue. 2 (2019)

Penerapan Surat Edaran Mahkamah Agung Mengenai Tindak Pidana Ringan Tentang Pencurian Dibawah Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah Di Kota Semarang

Wenny Megawati, Rochmani Richmani, Safik Faozi,



Abstract

Banyaknya perkara-perkara pencurian ringan sangatlah tidak tepat di dakwa dengan menggunakan Pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 5 (lima) tahun. Perkara-perkara pencurian ringan seharusnya masuk dalam kategori tindak pidana ringan (lichte   misdrijvenl) yang mana seharusnya lebih tepat didakwa dengan Pasal 364 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 3 (tiga) bulan penjara atau denda paling banyak Rp 250,00 (dua   ratus   lima   puluh   rupiah). Namun dengan seiringnya waktu nilai Rp 250,00 sudah tidak bisa menjadi patokan karena meningkatnya harga perekonomian. Untuk itu di tahun 2012 Mahkamah agung mengeluarkan PERMA No 2 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan tindak PidanaRingan dan jumlah denda dalam KUHP. Hal ini membuat penulis ingin mengetahui bagaimana Penerapan Surat Edaran Mahkamah Agung Mengenai Tindak Pidana Ringan Tentang Pencurian Dibawah Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah Di Kota Semarang.Permasalahan yang diangkat yaitu seperti menghitung konsep kerugian materil barang yang dicuri/dirusak oleh Pelaku dan Otoritas dari penerapan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang pencurian di bawah dua juta lima ratus ribu rupiah di Kota Semarang.Metode yang digunakan oleh penulis dalam membuat penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris, yaitu dengan cara melakukan pemecahan masalah dengan menganalisa kenyataan praktis dalam praktek.Menurut hasil penelitian penulis, ternyata kerugian yang dianggap sebagai tindak pidana ringan berdasarkan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 yaitu tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 dimana kerugian dari benda dihitung dari harga barang dan tidak bisa dimaknai meluas kemana-mana. Artinya hanya objeknya saja, tidak termasuk hak-hak yang melekat didalamnya, otoritas dari penerapan peraturan tersebut menjadi hak penuh majelis pengadilan karena yang mengeluarkan Perma adalah mahkamah agung, namun adanya penandatanganan Nota Kesepakatan Bersama MAHKUMJAKPOL   tentang   PERMA   Nomor   2   Tahun   2012   antara   Mahkamah Agung   Republik   Indonesia,   Menteri   Hukum   dan   HAM   Republik   Indonesia,   Jaksa Agung   Republik   Indonesia   dan   Kepolisan   Republik Indonesia   demi tercapainya sistem peradilan pidana terpadu (restoratif justice).







DOI :


Sitasi :

0

PISSN :

1411-3066

EISSN :

2580-8516

Date.Create Crossref:

15-Apr-2025

Date.Issue :

23-Nov-2019

Date.Publish :

23-Nov-2019

Date.PublishOnline :

23-Nov-2019



PDF File :

Resource :

Open

License :