Abstract
Abstrak
Perbuatan melawan hukum merupakan bagian dari perikatan yang bersumber dari undang-undang akibat perbuatan manusia yang melawan hukum, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang melahirkan hubungan serta akibat hukum bagi seseorang untuk mempertanggungjawabkan kerugian akibat perbuatannya atau perbuatan orang lain atau binatang ataupun barang/benda yang berada di bawah kekuasaan atau tanggungannya ataupun pengawasannya. Itu sebabnya perbuatan melawan hukum menjadi penting untuk disoroti, terutama setelah mengalami perkembangan makna substansinya. Objek kajian ini lebih terfokus pada pesan makna yang terkandung dalam penafsiran yang luas dan landasan pemikiran yang menyertainya, bukan pada substansi materi di dalamnya, dengan menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paradigma baru yang mendasari lahirnya penafsiran luas terhadap perbuatan melawan hukum pasca 31 Januari 1919 dalam kasus Lindenbaum-Cohen adalah bermula dari respons Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) atas kegelisahan para pencari keadilan yang kepentingannya dilanggar dan menimbulkan kerugian, tetapi senantiasa tidak bisa diproses melalui formulasi hukum yang berlaku saat itu. Oleh karena itu dengan kesadaran dan keberanian, Hoge Raad menggunakan cara berpikir progresif sebagai terobosan untuk menjawab kebuntuan hukum positif. Tindakan Hoge Raad itu mencerminkan implementasi suatu kesadaran dan pengertian yang mendalam tentang cara berhukum yang benar yakni dengan mengembalikan posisi hukum sebagai pemberi jaminan keadilan sekaligus mengikrarkan bahwa hukum untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum. Sayangnya dalam konteks bangsa kita, tindakan Hoge Raad itu belum menjadi inspirasi menyeluruh bagi terbanyak kita dalam berhukum dengan pikiran progresif. Masih lebih banyak kita yang terbelenggu dengan kekakuan pikiran ajaran legisme/positivisme hukum yang hanya mengakui undang-undang sebagai satu satunya hukum dan pedoman absolut. Diluar itu tidak dibenarkan, sebab bukan hukum.