Haji merupakan ibadah wajib bagi umat Islam yang mampu. Ibadah haji membutuhkan biaya yang banyak dan saat ini harus antri untuk waktu yang lama bagi calon jamaah haji Reguler. Agar dapat berangkat haji dengan cepat, calon jamaah haji dapat berangkat dengan menggunakan fasiltas kuota Haji Khusus dan Haji Furoda, yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), dengan biaya lebih mahal. Salah satu syarat untuk berangkat haji adalah dengan menggunakan visa haji legal, yakni visa haji kuota Indonesia (kuota haji regular dan haji khusus) dan visa haji mujamalah (Undangan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi) untuk Haji Furoda. Meskipun ada larangan, namun masih banyak calon jamaah haji yang diberangkatkan dengan menggunakan visa non haji oleh PIHK, karena lebih cepat berangkat. Artikel ini menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi jamaah haji Indonesia dan konsekuensi hukum bagi jamaah haji Indonesia yang menggunakan Visa Non Haji. Penelitian hukum normative ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dengan analisis yuridis kualitatif. Hasil penelitian ini bahwa calon jamaah haji yang berangkat dengan menggunakan visa non haji harus mendapat perlindungan hukum, karena mereka juga menjadi korban. Kepada Penyelangga Ibadah Haji Khusus selain harus memberikan ganti rugi juga dapat dituntut secara pidana dan sanksi nadministrasi berupa pencabutan izin operasional. Konsekuemsi bagi jamaah haji dengan visa non haji antara lain : dapat, dideportasi, denda sejumkah uang, larangan masuk ke Tanah Suci selama 10 tahun dan sulit mendapat perlindungan hukum.