(Rochmad Effendy, Meirina Aulia Damayanti, Sri Widayati, Lian Agustina Setiyaningsih)
- Volume: 6,
Issue: 1,
Sitasi : 0
Abstrak:
Involving down syndrome model, Imperfect Beauty ad is called pro-women's advertising. Reception analysis was carried out by employing critical perspective aimed at not only finding dominant meaning, negotiation and opposition but also trying to build audience’s agency to involve them in forming participatory culture. Through interview, focus group discussions and literature searches methods with informants who have backgrounds as student organization activists and are familiar with the entertainment and fashion development, this research found informants who rejected this pro-women advertisement; feelings of psychological insecurity, low self-esteem since they cannot meet ideal beauty standards which leads to self-oppression. Poor media representation of women which prioritizes their physical bodies over their political power leads to symbolic annihilation. Beautifying oneself has become a national and global political matter involving producers, the state and the media. Media naturalized beauty myths as if it were innocent and natural.
Abstrak
Dilihat dari tajuk dan pelibatan model penyandang down syndrome, reklame Imperfect Beauty merupakan iklan pemberdayaan perempuan. Analisis resepsi terhadap iklan ini dilakukan dengan menerapkan perspektif kritis yang diarahkan tidak hanya menemukan pemaknaan dominan, negosiasi dan oposisi tapi berusaha membangun agensi khalayak demi melibatkan mereka dalam membentuk budaya popular partisipatif. Lewat metode wawancara, diskusi kelompok terarah serta penelurusan pustaka dengan informan berlatarbelakang pegiat organisasi kemahasiswaan dan akrab dengan dunia entertainment dan fashion model, penelitian ini menemukan informan yang menolak iklan pro-perempuan ini (makna oposisi). Mereka merasakan ketidaknyamanan aman psikologis, harga diri yang rendah karena tidak bisa memenuhi standar kecantikan ideal. Dampaknya, mereka menindas diri. Representasi wanita di media yang lebih mengedepankan tubuh fisik daripada kekuatan sosial politiknya dapat mengarah kepada pemusnahan simbolik. Mempercantik diri menjadi masalah politik nasional dan global yang melibatkan produsen, negara dan media. Mitos kecantikan ciptaan industri oleh media dinaturalisasi; seolah alami dan memang demikian seharusnya.