Reformulasi Peminjaman Bahan Bukti Dalam Proses Bukti Permulaan Untuk Memberikan Kepastian Hukum Bagi Wajib Pajak
(Ega Laksmana Triwiraputra, Beniharmoni Harefa, Handoyo Prasetyo)
DOI : 10.26623/julr.v7i2.9144
- Volume: 7,
Issue: 2,
Sitasi : 0 17-Jun-2024
| Abstrak
| PDF File
| Resource
| Last.09-Jul-2025
Abstrak:
The aim of this research is to determine whether the tax procedural law regulated in the Minister of Finance Regulation (PMK) can override the Criminal Procedure Code (KUHAP). The basis for enforcing tax crimes is stated in the Law on Harmonization of Tax Regulations. The examination of preliminary evidence is not regulated in this law but is delegated to the PMK, granting examiners the authority to borrow and/or examine evidence. This authority is similar to confiscation, causing ambiguity and legal uncertainty. This research uses a descriptive normative method and finds that the rules for borrowing evidence need revision to avoid resembling confiscation. The novelty of this research lies in its focus on the borrowing of evidence in the PMK. The results indicate that the rules for borrowing evidence in the PMK cannot override the concept of confiscation in the Criminal Procedure Code due to the lex specialis principle. The conclusion is that the borrowing concept in the PMK regarding Preliminary Evidence cannot override the Criminal Procedure Code. Therefore, reformulation of the PMK is necessary because it still adheres to the autonomy of criminal law, which should be eliminated since Civil Law can adequately provide protection to maintain order. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hukum acara perpajakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dapat mengesampingkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dasar penegakan tindak pidana perpajakan dinyatakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Terdapat aturan mengenai pemeriksaan bukti permulaan yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut, tetapi didelegasikan ke PMK tentang Bukti Permulaan yang memberikan kewenangan pemeriksa untuk meminjam dan/atau memeriksa bahan bukti. Kewenangan peminjaman dab/atau memeriksa bahan bukti secara teknis memiliki kesamaan dengan penyitaan. Tidak adanya perbedaan yang signifikan antara peminjaman dengan penyitaan menyebabkan ketidakjelasan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif normatif dan menemukan bahwa aturan peminjaman bahan bukti perlu diubah agar tidak menyerupai konsep penyitaan. Kebaruan penelitian ini terletak pada fokus pembahasan peminjaman bahan bukti dalam PMK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aturan peminjaman bahan bukti dalam PMK tidak dapat mengesampingkan konsep penyitaan dalam KUHAP karena prinsip lex specialis. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan konsep peminjaman dalam PMK tentang Bukti Permulaan tidak dapat mengesampingkan KUHAP. Oleh karena itu, reformulasi terhadap PMK tentang Bukti Permulaan diperlukan, karena PMK a quo masih menganut otonomi hukum pidana, yang seharusnya dihilangkan karena Hukum Perdata sudah mampu memberikan perlindungan untuk menjaga ketertiban dalam kehidupan. Kata Kunci: Peminjaman Bahan Bukti; Pemeriksaan Bukti Permulaan; Wajib Pajak.
|
0 |
2024 |
Perlindungan Hukum Anak Korban Eksploitasi Sebagai Publik Figur di Media Sosial
(Garry Garry, Beniharmoni Harefa)
DOI : 10.26623/julr.v7i1.7850
- Volume: 7,
Issue: 1,
Sitasi : 0 17-Jan-2024
| Abstrak
| PDF File
| Resource
| Last.09-Jul-2025
Abstrak:
This research examines the protection of children as public figures on social media. Involving children in the world of work, or what is known as child labor, has several applicable provisions because employing children is only allowed to develop a child's interests and talents. Exploitation can occur if children are forced to work as public figures on social media. Law Number 17 of 2016 concerning child protection was created in order to provide protection for children from all actions that are detrimental to the child's growth and development. In addition, the role of the government through institutions related to child protection is one of the keys to reducing the number of cases of child exploitation. The research method used is normative juridical type with a statutory approach and a comparative approach supported by primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of this research show that there are regulations governing the prevention of child exploitation and provisions for child labor, along with the role of KPAI as a child protection institution, so that these two components should be able to suppress cases of child exploitation of public figures on social media.Penelitian ini mengkaji mengenai perlindungan anak sebagai publik figur dalam media sosial. Melibatkan anak dalam dunia kerja atau disebut dengan pekerja anak memiliki beberapa ketentuan yang berlaku karena dalam mempekerjakan anak hanya boleh dalam rangka mengembangkan minat dan bakat seorang anak. Eksploitasi dapat terjadi jika anak dipaksa untuk menjadi pekerja sebagai publik figur di media sosial. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak telah dibuat dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak dari segala tindakan yang merugikan tumbuh kembang anak. Di samping itu peran dari pemerintah melalui lembaga terkait perlindungan anak merupakan salah satu kunci dari penekanan angka eksploitasi anak. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan komparatif yang didukung bahan-bahan hukum primer, sekunder, tersier. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa sudah ada regulasi yang mengatur mengenai pencegahan eksploitasi anak dan ketentuan bagi pekerja anak beserta peran KPAI sebagai lembaga perlindungan anak sehingga dengan dua komponen tersebut seharusnya mampu menekan kasus eksploitasi anak publik figur di media sosial.
|
0 |
2024 |
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Turut Serta Tindak Pidana Penganiayaan
(Raden Roro Permata Dewi Larasati, Beniharmoni Harefa)
DOI : 10.26623/julr.v6i2.7045
- Volume: 6,
Issue: 2,
Sitasi : 0 13-Sep-2023
| Abstrak
| PDF File
| Resource
| Last.09-Jul-2025
Abstrak:
This study is conducted with the purpose to find out the legal protection of child perpetrators who participate in the criminal persecution and the determination of the role of participation in the criminal persecution by AG (case study of persecution by child of employee in Directorate General of Taxes). This study is based on the legal protection of child in conflict with the law that is not well implemented. This study uses a juridicial normative legal method. The novelty in this study is to explain the legal protection of child as a participant in the criminal persecution. The findings produced in this study are that the SPPA Law regulates the legal protection of child, namely in Article 3, Article 79 paragraph (2), and Article 81 paragraph (6) of the SPPA Law. Based on these regulations, child who participate in the criminal persecution can be treated specially in the procedural law, receive different criminal penalties compared to adults, and get the fulfillment of child rights. In the case of persecution by child of employee in Directorate General of Taxes, the role of AG as a child who participated in the criminal persecution was correct, but the decision decided by the Judge was not appropriate. AG should be subject to the lex specialis principle of Article 76 C jo Article 80 paragraph (2) of the Child Protection Law. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak pelaku turut serta tindak pidana penganiayaan dan penentuan peran turut serta tindak pidana penganiayaan oleh AG (studi kasus penganiayaan oleh anak pegawai Direktorat Jenderal Pajak). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perlindungan hukum terhadap anak berkonflik dengan hukum yang belum terimplementasi dengan baik. Penelitian ini menggunakan metode hukum yuridis normatif. Kebaharuan dalam penelitian ini adalah menjelaskan mengenai perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku turut serta tindak pidana penganiayaan. Temuan dalam penelitian ini adalah UU SPPA mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap anak, yaitu pada Pasal 3, Pasal 79 ayat (2), dan Pasal 81 ayat (6) UU SPPA. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka anak pelaku turut serta tindak pidana penganiayaan dalam menjalankan proses hukum dapat diperlakukan secara khusus pada hukum acara, menerima ancaman pidana yang berbeda apabila dibandingkan dengan orang dewasa, dan mendapatkan pemenuhan hak anak. Pada kasus penganiayaan oleh anak pegawai Direktorat Jenderal Pajak, peran AG sebagai anak pelaku turut serta tindak pidana penganiayaan sudah tepat, tetapi putusan yang diputuskan oleh Hakim dirasa kurang tepat. Seharusnya AG dapat dikenakan asas lex specialis Pasal 76 C jo Pasal 80 ayat (2) UU Perlindungan Anak.
|
0 |
2023 |
Penegakan Hukum Pidana Terhadap Anak Pelaku Kejahatan Klitih
(Khoerina Azzizah, Beniharmoni Harefa)
DOI : 10.26623/julr.v6i2.6990
- Volume: 6,
Issue: 2,
Sitasi : 0 17-Aug-2023
| Abstrak
| PDF File
| Resource
| Last.09-Jul-2025
Abstrak:
This research aims to examine the urgency of providing diversion in criminal law enforcement against juvenile perpetrators of klitih crimes. Klitih, which leads to violence or even murder, can involve a child in legal processes. Involving a child in the criminal justice system can neglect the child's rights in terms of their physical, mental, and social well-being. Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System was established to achieve restorative justice and protect the interests of children. The provision of diversion for juvenile offenders is a form of restorative justice. The effective implementation of diversion relies not only on law enforcement agencies but also on the responsibility of parents in supervising and guiding their children who have been involved in criminal activities. The research method used in this study is normative juridical with a legislative approach, supported by comparative approaches and primary, secondary, and tertiary legal sources. The results of this research indicate that the provision of diversion with the return of the child to their parents needs to be emphasized in terms of accountability to prevent tolerance and recurrence of crimes.Penelitian ini mengkaji mengenai urgensi pemberian diversi dalam penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku kejahatan klitih. Klitih yang menyebabkan kekerasan atau bahkan pembunuhan bisa menyebabkan seorang anak terlibat proses hukum. Melibatkan anak dalam sistem peradilan pidana dapat mengabaikan hak-hak anak baik dari fisik, mental, maupun sosialnya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibentuk untuk mewujudkan keadilan restoratif untuk melindungi kepentingan anak. Adanya pemberian diversi bagi anak pelaku kejahatan merupakan bentuk dari keadilan restoratif. Pemberlakuan diversi yang efektif tidak hanya mengandalkan aparat penegak hukum saja, namun faktor utama dari keberhasilan pemberian diversi bagi anak pelaku tindak kejahatan klitih adalah pertanggungjawaban dari orang tua terhadap pengawasan, pembinaan, dan pola asuh kepada anak-anaknya yang pernah terlibat kejahatan pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan komparatif yang didukung bahan hukum primer, sekunder, tersier. Adapun hasil dari penelitian ini yang menunjukan bahwa pemberian diversi dengan pengembalian anak kepada orang tua perlu ditegaskan kembali pertanggungjawabannya agar tidak terjadi pembiaran dan pengulangan kejahatan.
|
0 |
2023 |
Pengaturan Tindak Pidana Bagi Pelaku Penipuan Phisning Berbasis Web
(Faiz Emery Muhammad, Beniharmoni Harefa)
DOI : 10.26623/julr.v6i1.6649
- Volume: 6,
Issue: 1,
Sitasi : 0 24-Apr-2023
| Abstrak
| PDF File
| Resource
| Last.09-Jul-2025
Abstrak:
This study aims to analyze legal arrangements related to vague phishing in order to answer legal problems, namely whether it is in accordance with the elements of justice which is a legal ideal. The research discusses that the current criminal law rules need to be changed to pay attention to all parties (victims and the community) to be restored to their situation based on the ITE Law. This research method is a normative juridical using a statutory approach and a conceptual approach. The study yielded 2 points: first; That the current criminal law is still oriented towards the old penal system in accordance with the theory of criminal retaliation which is aimed at the punishment of the perpetrator and the rights of the victim are ignored. Second; There is no criminal arrangement regarding compensation that concretely regulates the crime of phishing. The novelty in this study is that it complements studies conducted in previous studies that only provide imprisonment for perpetrators as a form of compensation from the perpetrator and there is no personal responsibility from the perpetrator to return material losses suffered by the victim.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan hukum terkait dengan phising yang kabur agar dapat menjawab permasalahan hukum yaitu apakah sudah sesuai dengan unsur keadilan yang merupakan suatu cita-cita hukum. Penelitian membahas bahwa aturan hukum pidana saat ini perlu diadakan perubahan agar memperhatikan semua pihak (korban dan masyarakat) untuk dapat dikembalikan keadaannya berdasarkan UU ITE. Metode penelitian ini merupakan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penelitian ini menghasilkan 2 poin: pertama; bahwa aturan hukum pidana saat ini masih berorientasi pada sistem pemidanaan lama sesuai dengan teori pembalasan pidana yang tertuju kepada hukuman pelaku tersebut dan hak atas korban terabaikan. Kedua; tidak ada pengaturan pidana mengenai ganti rugi yang mengatur secara konkret tindak pidana phising tersebut. Kebaharuan dalam penelitian ini yaitu melengkapi studi yang dilakukan pada penelitian sebelumnya yang hanya memberikan pidana penjara terhadap pelaku sebagai bentuk hukuman ganti kerugian dari si pelaku dan tidak ada pertanggungjawaban pribadi dari pelaku untuk mengembalikan kerugian secara materiil yang dialami oleh korban.
|
0 |
2023 |
Pemberian Restitusi Sebagai Pelaksanaan Diversi Pada Perkara Pidana Anak
(Putri Tamara Amardhotillah, Beniharmoni Harefa)
DOI : 10.26623/jic.v8i1.6238
- Volume: 8,
Issue: 1,
Sitasi : 0 25-Feb-2023
| Abstrak
| PDF File
| Resource
| Last.09-Jul-2025
Abstrak:
This study aims to determine the implementation of restitution for diversion and the obstacles in seeking diversion at the three levels of the criminal justice process, investigation, prosecution, and examination in court. Restitution is a supporting factor in the success of the diversion process at different levels based on Government Regulation 43 of 2017 concerning the Implementation of Restitution for Children who are Victims of Criminal Acts. Children are supposed to be protected by the country, so this research is essential to ensure implementation of diversion should be prioritized in solving juvenile cases. This study used a normative juridical approach and had a novelty value because it examines the granting of restitution for diversion. From this research, restitution could be a way to get diversion and understand the obstacles in achieving it, such as economic constraints, unwilling parties to carry out diversion, and the limitations in several laws and regulations related to the implementation of diversion.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan restitusi sebagai langkah pelaksanaan diversi pada perkara pidana anak sehingga dapat mengetahui bagaimana dan apa saja kendala dalam pengupayaan diversi di tiga tahap penyelesaian perkara pidana yakni pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Restitusi menjadi hal penunjang dalam keberhasilan proses diversi di berbagai tahapan, hal ini berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana. Penelitian ini penting dilakukan karena anak adalah orang yang dilindungi oleh negara dan agar pelaksanaan diversi menjadi hal yang diutamakan pada penyelesaian perkara anak. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini memiliki nilai kebaruan karena mengkaji pemberian restitusi dalam pelaksanaan diversi. Dari penelitian ini maka dapat diketahui bahwa restitusi dapat menjadi sarana dalam keberhasilan diversi dan untuk mengetahui kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan diversi seperti kendala ekonomi, ketidakmauan para pihak untuk melaksanakan diversi, hingga kendala yang ada dalam peraturan perundang-undangan terkait pelaksanaan diversi.
|
0 |
2023 |